KabarTifa- Harga Bitcoin (BTC) masih bergelut di kisaran US$90.000 – US$108.000 sejak November 2024. Kondisi ini mengindikasikan fase konsolidasi, menunggu katalis yang mampu mendorong harga keluar dari zona tersebut. Ironisnya, pasar saham Amerika justru meroket. Indeks S&P 500 mencapai US$6.115, sementara Nasdaq 100 melesat ke US$22.126. Kenaikan ini terjadi meskipun ancaman tarif baru dari Donald Trump mengintai sektor konstruksi, farmasi, manufaktur, dan ritel. Namun, pasar kripto tampaknya melihat ancaman tersebut sebagai strategi negosiasi, bukan kebijakan langsung. Sentimen positif di pasar saham ini berpotensi menarik investor ke aset berisiko, termasuk Bitcoin.
Salah satu faktor kunci yang bisa mendongkrak Bitcoin adalah kebijakan bank sentral. Laporan terbaru dari pertemuan FOMC menunjukkan The Fed mungkin akan menghentikan atau memperlambat Quantitative Tightening (QT). QT, kebijakan pengurangan uang beredar, jika dihentikan, akan meningkatkan likuiditas pasar, berdampak positif pada aset berisiko seperti saham dan kripto. FOMC menyebutkan beberapa peserta mempertimbangkan penghentian atau perlambatan pengurangan neraca seiring perkembangan terkait batas utang.
Secara teknikal, Bitcoin membentuk pola cup and handle (C&H), yang biasanya menandakan kelanjutan tren naik. Pola ini terbentuk Maret-November 2024, diikuti breakout. Saat ini, pola bullish flag juga terlihat, sinyal potensi kenaikan harga. Jika BTC menembus US$108.000, potensi kenaikan ke US$122.000 terbuka lebar, sesuai perhitungan pola C&H. Namun, jika turun di bawah US$90.000, skenario bullish akan batal dan koreksi lebih dalam mungkin terjadi.
Disclaimer: Artikel ini bersifat informatif dan bukan nasihat investasi atau saran trading. Investasi kripto berisiko tinggi. Lakukan riset menyeluruh sebelum berinvestasi. kabartifa.id tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan Anda.
