KabarTifa- Bitcoin (BTC) melesat menembus US$ 109.000 pada Rabu lalu, setelah sempat menyentuh level support US$ 105.200. Meskipun hanya berjarak 2 persen dari rekor tertinggi sepanjang masa, pasar derivatif justru menunjukkan tanda-tanda keraguan. Data dari kabartifa.id menunjukkan sentimen pasar masih jauh dari euforia, mengingatkan potensi koreksi harga.
Lonjakan harga Bitcoin ini beriringan dengan kabar ekspansi suplai uang di zona euro dan data tenaga kerja AS yang mengecewakan. Kedua faktor ini biasanya mendorong investor berlindung ke aset safe haven seperti Bitcoin. Namun, kenyataannya berbeda.

Premium futures Bitcoin tetap di bawah ambang netral 5 persen, hanya naik tipis 4 persen di awal pekan. Tren lesunya leverage ini berlanjut sejak 11 Juni, saat Bitcoin terakhir kali menyentuh US$ 110.000. Opsi BTC juga menunjukkan keseimbangan risiko, dengan delta skew 25 persen tetap di angka 0 persen. Hal ini mengindikasikan pasar masih menunggu dan melihat, bukan bersiap untuk breakout besar.
Data suplai uang M2 zona euro yang naik 2,7 persen YoY pada April lalu, memang mendukung reli Bitcoin. Namun, data ADP yang menunjukkan penurunan 33.000 pekerjaan sektor swasta di AS pada Juni lalu, menimbulkan kekhawatiran resesi. Ditambah lagi, tensi geopolitik yang memanas semakin memperkuat sentimen negatif ini.
Ketidakpastian global ini membuat investor enggan mengambil posisi leverage panjang. Di sisi lain, premium stablecoin Tether (USDT) di China menunjukkan diskon 1 persen terhadap USD, mengindikasikan investor sedang melakukan cash out. Net outflows dari spot ETF Bitcoin yang mencapai US$ 342 juta pada Selasa lalu, juga memperkuat sinyal tersebut. Meskipun harga naik, investor besar masih ragu akan keberlanjutan tren positif ini.
Disclaimer: Artikel ini bertujuan informatif dan bukan sebagai saran investasi atau trading. Investasi kripto berisiko tinggi. Lakukan riset sebelum berinvestasi.
